Membaca Konbini Ningen, Mempertanyakan Kenormalan

Saturday, March 13, 2021


Mumpung masih hangat di kepala dan juga hati (cailah), aku pengin ngomongin satu novel yang belum lama berhasil aku tamatin dan aku sukaaaaa banget. Udah lama rasanya sejak terakhir kali baca novel yang bikin aku merasa sangat relate dan terwakilkan gini ahaha.

Yak, judul novelnya adalah Gadis Minimarket atau Convenience Store Woman atau judul paling awalnya adalah Konbini Ningen, karangan Murata Sayaka yang memenangkan penghargaan Akutagawa Prize di tahun terbitnya. Kalau di sini mungkin sejenis Kusala Sastra kali yaa?

Konbini Ningen menceritakan tentang Furukura Keiko, seorang perempuan yang sejak kecil punya pemikiran yang 'unik' atau bisa dibilang berbeda dengan orang kebanyakan. Kayak misalnya waktu kecil, dia menemukan ada bangkai burung di taman, dan ketika semua teman-temannya merasa sedih sama nasib si burung, Keiko malah bilang ke ibunya kira-kira "gimana kalau kita bawa pulang buat makan malam?"

Sama ibunya jelas dilarang, kasihan burungnya, sebaiknya dikubur aja. Tapi yang ada di pikiran Keiko saat itu kenapa enggak boleh dibawa pulang? Bukannya udah biasa makan burung atau ayam, kenapa yang ini enggak boleh dimakan?

Apa yaa, pikirannya Keiko tuh, masuk akal sih, sebenernya. Cuma memang cukup ekstrim perbedaannya dengan anak-anak seumurannya saat itu.

Selain itu, pemikiran dan tindakan Keiko selanjutnya cukup bikin orangtuanya stres dan kepikiran, gimana nanti masa depannya Keiko? Bisa enggak dia kerja, menikah, punya anak? Sementara Keiko sendiri juga berpikir "gue kenapa sih, apa yang salah dengan gue?" sampai akhirnya dia memilih untuk enggak berkata dan bersikap apapun di depan orang banyak.

Sampai akhirnya sewaktu Keiko kuliah, ada minimarket yang baru dibuka dan membuka banyak lowongan kerjaan. Keiko pun melamar sebagai pekerja part time di minimarket itu, dan di sanalah dia menemukan 'surga'.

Minimarket adalah tempat di mana Keiko bisa merasakan bagaimana rasanya berbaur dengan masyarakat umum. Keiko cuma perlu mengikuti panduan, bagaimana menyambut pelanggan, menyusun barang, menghitung stok, dan lain-lain. Dan melakukan hal yang sama setiap hari. Dengan begitu, Keiko merasa menjadi orang normal. Apalagi reaksi orangtua dan keluarganya yang merasa senang karena akhirnya Keiko bisa juga kerja dan terjun dalam masyarakat.

Dan Keiko pun bekerja di minimarket yang sama selama 18 tahun, dari umurnya masih 18 tahun sampai sekarang sudah 36 tahun. Di mana manager dan teman-teman kerjanya semua berubah, barang-barang yang dijual juga mungkin udah beda, tapi Keiko masih di sana.

the many faces of Konbini Ningen: versi Jepang, versi Inggris dan versi Indonesia, which one is your favorite?

Si Eya kenapa sih nulisin sinopsis doang panjang bener? 😅 Tapi bener deh, aku rasanya pengin nyeritain seluruh isi buku ini ke semua orang dan pengin ngasih tahu juga bagaimana isi buku ini kayak mewakili apa yang aku rasakan selama ini hahaha.

Tapi nanti yang ada gue dibilang aneh kayak si Keiko deh 😝

Konbini Ningen ini termasuk novel yang tipis, cuma sekitar 160an halaman kalau menurut Gramedia Digital yaa. Tapi aku bacanya cukup lama, ada kali 2 mingguan hahaha. Bukan karena bosen, tapi selain karena aku memang slow reader (sangat slow read), aku juga kayak enggak mau buru-buru pisah sama buku ini.

Iya, karena sesuka itu dan kayaknya aku perlu punya buku fisiknya juga biar bisa baca berulang-ulang dengan nyaman dan bisa nandain bagian-bagian yang aku suka dari buku ini.

Ada beberapa hal yang pengin aku highlight dari novel Konbini Ningen ini. Aku tulis dalam bentuk poin-poin aja kali yaa, biar enak.

  • Aku suka bagaimana Murata Sayaka menceritakan secara detail cara kerja di minimarket. Gimana cara nyusun stok, pilih barang yang harus dipromosikan lebih hari itu, jam sibuk di waktu makan siang, rapat buat nentuin target dan lain sebagainya. Dan kenapa bisa sedetail itu, ya karena Murata Sayaka pernah kerja part-time di minimarket dulunya.
  • Kedetailan cara Keiko memandang orang-orang di sekelilingnya juga cukup bikin aku berdecak kagum nih. Aku enggak pernah merhatiin ini sebelumnya, tapi menurut Keiko, orang-orang umumnya akan berbicara dan bersikap mengikuti pengaruh lingkungannya. Keiko yang sangat berusaha untuk dipandang normal, sering mengikuti gimana orang-orang sekitarnya berbicara, bersikap atau bahkan berpenampilan. Dia perhatikan satu-persatu dan dia adaptasi dengan cara di-mix satu-satu untuk dirinya sendiri.
  • Dedikasi Keiko pada kerjaannya, gimana dia bisa tahu produk apa yang harus ditaruh di depan, produk apa yang harus lebih dikencangin lagi promosinya sih, luar biasa banget 👏👏👏 Juga gimana Keiko mikirin dia harus menjaga penampilan dan kesehatan dengan makan makanan yang cukup nutrisi supaya dia bisa bekerja dengan baik besok harinya.
  • Yang bikin aku berdecak kagum juga gimana Keiko yang merasa terlahir untuk bekerja di minimarket. Gimana Keiko menjadikan minimarket sebagai surganya. Gimana dia bisa mendengar 'suara-suara' minimarket padahal dia lagi di rumah dan itu membuatnya merasa nyaman. What a passion Keiko! Sounds weird but calming at the same time, mungkin sama kayak orang yang suka laut dan membayangkan wangi laut bisa bikin dia nyaman.
  • Kemunculan Shiraha yang bikin aku super gedeg pengin nempeleng kepalanya wkwkwk tapi juga kehadirannya yang bikin aku makin penasaran sama kelanjutan cerita novel ini. Apa yang bakal Keiko lakukan nih, ngadepin orang kayak Shiraha? Dan yang dilakukan Keiko cukup bikin aku melotot pengin protes tapi juga memaklumi sih kenapa Keiko berpikir begitu. Mau enggak mau si kampret ini juga membantu Keiko buat lebih bisa menerima dirinya sendiri.
  • Aku bisa merasa sangat relate dan terwakilkan oleh Keiko di buku ini. Rasanya pengin peluk Keiko ketika semua orang merasa dia perlu disembuhkan. Keiko cuma beda dari normalnya masyarakat umum tapi orang-orang bertingkah seolah dia sakit dan perlu disembuhkan.
  • Kalimat-kalimat quoteable dari para karakter (even Shiraha) yang bikin aku pengin punya buku fisiknya nih, terutama! Pengin bisa nge-highlight kalimatnya biar bisa dibaca lagi hahaha.

Konbini Ningen adalah kritik sosial terhadap tatanan masyarakat di Jepang, tapi dalam beberapa hal somehow juga terjadi di Indonesia.

Salah satu contohnya adalah ketika Keiko cerita ke adiknya kalau dia menampung Shiraha di rumahnya. Adiknya langsung merasa senang karena kakaknya berhubungan sama laki-laki. Begitu juga reaksi teman-teman kerjanya, mereka senang dengar Keiko punya hubungan dengan Shiraha, padahal mereka tahu sifatnya Shiraha minusnya kayak apaan.

Ini tuh bikin aku mikir, salah satu kehidupan ideal di mata masyarakat umum adalah punya pasangan. Orang enggak peduli pasangan kita itu bermasalah apa enggak, yang penting kita punya pasangan, itu artinya hidup kita normal.

Terus, apakah orang yang punya pikiran kalau enggak semua orang perlu pasangan buat bahagia itu enggak normal? Apakah orang yang nyaman dengan pekerjaan yang sama tanpa perlu naik jabatan itu enggak normal?

Dipikir-pikir, hidup normal itu yang bener gimana sih? Apakah sesuai dengan standarnya masyarakat, yang menurut Shiraha udah ada panduannya dari jaman Jomon? Padahal yaa normalnya tiap orang beda-beda enggak sih? Enggak bisa disamakan, tapi kok kayaknya masyarakat banyak yang kompak kalau normal itu ada standarnya, dan itu yang mereka percaya dari jaman dulu sampai sekarang.

Lihat aja Keiko, yang awalnya orangtua, adik dan teman-temannya seneng karena dia terlihat normal karena kerja part-time di minimarket. Tapi apa yang mereka pikirkan setela Keiko terus-terusan kerja part-time di minimarket yang sama selama 18 tahun? Mereka mulai mikir itu enggak normal, padahal justru dengan kerja di minimarket membuat Keiko merasa lebih normal.

Jadi, normal itu harus gimana yaa, Bapak-bapak Ibu-ibu sekalian?


Oh iya, aku pengin bahas soal terjemahan judul novel ini deh. Kebetulan aku sempat baca review-nya @hzboy di Twitter yang jelasin kalau penggunaan kata 'ningen' di judul aslinya tuh menunjuk ke manusia atau orang-orang aja, enggak merujuk khusus gender tertentu.

Dan setelah selesai baca, menurutku memang lebih cocok begitu sih, karena memang yang dibahas di novelnya mencakup beban dari gender stereotype ke semua gender, enggak cuma ke perempuan.

Salah satu kalimat yang diucapkan Shiraha cukup menjelaskan ini soal ini, "Sebagai laki-laki, semua orang mendesak 'bekerjalah!', 'menikahlah!' dan kalau sudah menikah: 'cari uang lebih banyak!' atau 'bikin keturunan!' Aku akan jadi budak desa dan masyarakat akan memaksaku bekerja seumur hidup."

Cuma memang pemeran utama di novel ini perempuan sih, mungkin ini juga salah satu alasan terjemahannya jadi ngambil judul Convenience Store Woman atau Gadis Minimarket.

🍀

Sekali lagi, aku mau bilang, duh semoga enggak bosen yaa wkwkwk... aku sukaaaa banget novel Konbini Ningen ini.

Ceritanya yang sederhana dan halamannya yang tipis, tapi isinya penuh sentilan terhadap kehidupan masyarakat yang udah berjalan sejak dulu. Hal yang kemudian bikin aku sadar, ternyata walaupun jaman semakin maju, tapi pikiran masyarakatnya kebanyakan masih jalan di tempat yaa? Hahaha.

Terus orang Jepang kalau nulis cerita berdasarkan profesi pekerjaan entah kenapa selalu berhasil menarik perhatianku. Bikin aku jadi lebih paham dan pengin bisa lebih menghargai profesi-profesi pekerjaan yang banyak diremehkan sama orang-orang.

Aku penasaran deh, orang-orang yang pemikirannya sesuai dengan standar masyarakat normal (misalnya orang yang suka mendesak orang lain buat segera nikah dan punya anak), kalau baca novel ini bakal mikir apa ya? Apa bakal kesentil atau malah berhenti baca di chapter pertama?

Oke deh, sebelum cuap-cuapku ini makin panjang, mari kita akhiri saja di sini hahaha. Temen-temen ada yang udah baca Konbini Ningen atau Gadis Minimarket juga?

eya.

29 comments

  1. Wah reviewnya detail, sampai saya ikut emosional juga pengen beli bukunya mbak :))

    Relate banget ya ini.. Sering dan banyak banget yang membuat fatwa yang benar adalah yang "normal", "netral", dan "biasa".. capek juga sih hampir seumur hidup dikelilingi orang seperti itu..

    terima kasih infonya mbak, bukunya jadiin wishlist ni hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yeaay asiik ada yang teracuni 😂

      Iya di kehidupan ini orang kayak jadi memaksakan kenormalan versi mereka ke orang lain, padahal belum tentu juga itu yang normal buat si A juga normal buat si B. Saya rasa kalau Mas Andie baca bisa cukup relate dengan beberapa hal di novel ini 😆

      Delete
  2. Sampai sekarang common sense dan kenormalan jadi bahan overthinkingku.
    Yang disebut normal itu yang mana. Apakah dengan menjadi sama dengan mayoritas? Atau apakah sudah urgensi jaman untuk menjadikan kebebasan berekspresi sebagai salah satu hal yang normal? Lalu, jika begitu, apakah dengan begitu menjadi nudist, berbuat sesuka hati, bahkan sampai (ekstrimnya) coitus di jalan juga karena termasuk kebebasan berekspresi suatu saat juga akan menjadi normal?

    Duh, ga tau euy, kalau mikirin terlalu dalam dan menyangkut hajat hidup orang banyak gini, akhirnya pusing sendiri. Terus jadinya auk ah, this is out of my control, dipikirin mendalam juga ga mengubah keadaan.

    Mungkin memang lebih baik kayak mbak Sayaka Murata aja. Bahan overthinkingnya dijadikan novel. Biar dapat cuan *hidup cuan*, plus ngajak orang ikut overthinking *eh? lho? ��*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ahahaha aku setuju banget Mba Hicha, beneran habis selesai baca tuh jadi overthinking mikirin si 'normal' ini hahaha.

      Ternyata kalau dirunut ke segala hal, kayak beberapa yang Mba Hicha sebutin ini, bisa jauh lebih dalem lagi makna 'normal' ini. Jadi beneran abu-abu sebenernya yang normal dan ga normal itu gimana 😅

      Jadi kepikiran, Mba Murata sebelum nulis Konbini Ningen mungkin berhari-hari ga tidur juga kali yaa mikirin si 'normal' dan 'ga normal' ini? Wkwkwkwk bener deh, mending bahan overthinking bisa dijadiin novel dan menghasilkan cuan, daripada cuma mengendap di otak terus bikin stres 😂

      Delete
  3. Ke sini setelah baca komen kak Eya dalam segmen Perspektif Majemuk bersama kak Lia. Senang sekali liat dua argumen yang sama-sama kuat. Saya jadi pengen ngebuktiin sendiri, apakah akan suka dengan novelnya atau tidak. Sama seperti kak Reka bilang buku JK Rowling yang pake nama pena itu membosankan, saya malah makin tertarik.

    Sudah liat buku ini sejak lama, tapi belum sempat membacanya. Bacaan masjh banyak, tapi ngga masalah kalah terus ditumpuk. Sekarang lagi baca Harpot dulu, kalo udah kelar mungkin bisa jadi alternatif bacaan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ahahaha pas komen di Perspektif Majemuknya Rahul itu lagi dalam proses nulis iniii 😂 Ayoo Rahul baca juga! Wkwkwk

      Gapapa menimbun dulu, membaca kemudian, prinsip dalam menimbun buku memang begitu Rahul 😁😄 Semangat baca Harpotnya!

      Delete
  4. Aku udah baca buku ini, sempet nulis di blog juga. Aku suka bgd jg sama isu yg diangkat.. Yg bikin gregetan itu, kenapa sih orang2 hrs memaksakan standar bahagia mereka ke orng lain 😣 Keiko bahagia dg kerja d supermarket, dan ga menjalin hubungan dg siapapun, tp kenapa orang2 bawel bgd mendikte kehidupannya. Huhu..

    Setelah dibikin greget sama cowo ga banget yg numpang hidup di Keiko, aku seneng akhirnya sama ending buku ini 😊

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya dan ternyata di Jepang yang kupikir banyak orang individual pun masih banyak juga orang-orang yang ngurusin kebahagiaan orang lain. Ternyata memang masih sama-sama Asia sih yaa, jadi masih ada mirip-miripnya juga sama di sini 😆

      Samaa Mba Thessa, aku juga sampai bersorak saking sukanya sama endingnya, pengin meluk Keiko rasanya 😊

      Delete
  5. Nggak salah aku masukin ini ke daftar baca. Iya lho Kak kalau dipikir-pikir, yang normal tuh yang kayak gimana??? Standar tiap orang kan beda-beda, seringnya yang nggak sesuai standar mereka dibilangnya nggak normal. Oh iya dan aku sedih sih baca yang mending punya pasangan walaupun problematik daripada nggak punya pasangan...aku kayak...bro hidup ini udah berat jangan dibuat makin berat. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ayoo Endah dibacaa nanti kita sambat bersama soal isu yang diangkat buku ini ahahhaa... Iyaa pas baca bagian itu tuh kayak nyess banget, makanya selama baca aku merasa terwakilkan banget sama Keiko, keresahan dia beberapa jadi keresahan aku juga huhu... Iya kaan hidup aja udah berat, kudu ditambah pasangan problematik, mon maap kalau anda ga bisa bayarin terapinya ga usah nyuruh-nyuruh dan sok bahagia kita dapet pasangan problematik wkwkwkwk *ujungnya ngomel*

      Delete
  6. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  7. Kak Eyaa..ulasanmu lengkap sekali. Aku suka bagaimana kak Eya menuliskan poin-poin highlight diatas, on detail enak bacanya hehe.

    Baca ulasan soal konbini ningen dari penilaian kak Eya dan kak Jane mewakili aku yang kurang bisa menuliskan review soal buku ini. Bedanya, di satu sisi aku menyukai isu yang dibahas tapi sisi lainnya aku agak terganggu dengan pemikiran Keiko yang sedikit ekstrem 😅, tapi cara dia menyikapi penilaian masyarakat soal kehidupan "ideal atau normal" aku cukup suka. Terus sebenernya aku juga penasaran Keiko ini punya gangguan apa ya, kayaknya sempat dibahas di buku tapi gak rinci. Kak Eya inget gak, bagian mana yang membahas soal itu?

    Anywaaay arigathanks buat ulasannya kak! Ku tunggu ulasan buku kak Eya selanjutnya 😊😊

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ahahaaa makasih Rekaa, tapi mungkin ini lebih cocok disebut cuap-cuap kali yaa daripada mengulas 😂

      Iya aku juga suka dengan cara Keiko menyikapi soal penilaian masyarakan itu, dan tentu saja endingnya yaaa bener-bener bikin aku seneng sekaligus lega huuff... Kalau di buku ga terlalu dibahas sih yaa, pas awal-awal doang Keiko masih kecil dan orangtuanya bawa dia ke psikolog/psikiater gitu. Di review goodreads banyak yang bahas kayaknya Keiko mengidap autistic gitu 😔

      Ahahahaa semogaaa yaa Reka nanti aku ketemu buku yang menarik buat diulas lagi hehehe

      Delete
  8. Kita berkebalikan sekali ya, Kak Eya 🤣
    Meskipun aku bilang buku ini nggak cocok denganku, namun, aku setuju bahwa isu-isu sosial yang diangkat relate banget dengan kehidupan sekarang. Nggak hanya di Jepang, di Indonesia sendiri juga begitu adanya 😂
    Sosok Shiraha tuh bikin aku gedeg di awal kemunculannya 🤣 tapi lama-lama aku merasa apa yang dikatakan dan dirasakan Shiraha tuh ada benarnya. Sosok Keiko keren karena dia bisa menjadi orang yang nggak peduli dengan ucapan orang sekitar. Aku harap bisa menjadi orang kayak Keiko 😂 dan karena buku ini, aku semakin penasaran ingin coba kerja di minimarket 🤣

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ahahaa Lia mungkin ga cocok sama pace-nya yang slow yaa? Tapi aku seneng karena walaupun Lia ga cocok sama bukunya, tapi Lia masih bisa merasa relate dengan isu-isu yang diangkat 😆

      Bener bangeeett pengin nempeleng ga siih rasanya wkwkwk ngeselin banget ada manusia kayak gitu 😤😤 Memang dia ada benarnya cuma ya ituu kelakuannya parah wkwkwk... Mungkin nanti di masa depan Lia buka minimarket jadi bisa ngerasain juga kerja di minimarket 😂

      Delete
  9. Salah satu buku yang saya suka juga mba Eya, belum lama ini saya baca, hehehehehe, dan membuat saya semakin ingin punya minimart sebab penulis betul-betul jago menggambarkan suasana minimart yang sesuai dengan imajinasi saya 😂 Pokoknya one day ingin jadi the next Keiko namun versi minimart yang nggak begitu ramai biar bisa istirahat 🤪

    Dan setuju sama isu sosial yang diangkat, sederhana, namun saya yakin banyak dari kita bisa merasa relate, hihihi, secara kita hidup di dunia yang semuanya serba harus 'normal' padahal seperti kata mba Hicha, kita bahkan nggak tau standar normal itu seperti apa. Hahahahaha. Oh dan yang saya suka dari buku ini adalah jumlah halamannya yang nggak begitu tebal, asli deh, mabok banget kalau baca buku tebal-tebal 🤣

    Thanks for sharing your POV, mba Eya 😍

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul Mba Eno, karena si penulis pernah part-time di minimarket jadi gambarinnya bener-bener detail. Waah berarti Mba Eno nanti buka minimart di kawasan yang jauh dari perkantoran biar ga kena rush pas jam makan siang 😂😂

      Iya jadinya yang sesuai standar masyarakat umum yang disebut normal, padahal belum tentu bisa kerasa sama normalnya di setiap orang kan? Kayak kata Keiko juga, masyarakat itu udah ada buku panduannya dari jaman dulu 😌 Sama Mba Enoo, aku juga menikmati banget karena bukunya enggak tebal wkwkwk jadinya porsinya pas yaa buat kita 😂😂

      Delete
  10. Eyaaa, lengkap banget review kamu ini! Super love! Dan makasih banget untuk penjelasan tentang terjemahan "ningen". Jadi tuh sebetulnya ini merujuk pada manusia, bukan pada gender tertentu ya? Cuma paham juga sih kenapa akhirnya diterjemahkan sebagai perempuan, mungkin karena keseluruhan novel ini diambil dari sudut pandang Keiko.

    Seperti yang pernah aku share di blog juga, novel ini bicara banyak ke aku karena aku pernah ada di posisi yang sama dengan Keiko, khususnya dalam pekerjaan yang dipilih, ya. Soal kehidupan pribadinya Keiko, aku juga merasa gedeg banget sih dengan teman-teman maupun adiknya sendiri. Yang diurusin ya kapan si Keiko ini kawin, mau sampai kapan kerja di konbini dan sebagainya. Agak kaget juga karena di mataku orang Jepang itu kan individualis, ternyata budaya Asia yang cenderung "kepo" ini melekat juga di mereka 😆

    Btw, baru sadar nuansa sampul novel ini semuanya kuning cerah hauhahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Jane, jadi ningen itu artinya manusia, ada yang bilang mungkin lebih cocok kalau judulnya jadi "Manusia-manusia Minimarket" gitu ahaha. Iya siih bisa dipahami soalnya diambil dari sudut pandang Keiko, walaupun cakupan issue yang dibahas bisa relate ke semua gender 😊

      Ternyata memang kepo itu bawaannya orang Asia yaa? Kalau selama ini nonton dorama gitu memang sering sih dibahas kalau generasi tua suka ngerecokin yang muda soal pekerjaan atau pernikahan, cuma kebanyakan yang muda-muda udah cuek bebek 😅

      Iyaa dan kuningnya hampir sama semua yaa? Aku juga baru nyadar pas nyari cover dari semua versi 😂

      Delete
  11. dan dan dannn aku penasaran sama versi ini.
    setelah judul yang sama dengan yang dibahas Lia, gadis minimarket
    aku ngebayangin pas baca buku ini, ada sisi promosi juga dari latar belakang cerita, promosi dalam hal kerjaan si Keiko ini alias ada pembelajaran marketingnya juga.
    aku juga suka kalau ada cerita yang berlatar belakang pekerja pekerja kayak gini, yang berbeda sama kerjaan aku, jadi bisa belajar juga dari cerita novel

    terus ngomongin soal normal, sampe sekarang tingkat kenormalan yang wajar di masyarakat masih nggak aku pahami juga mbak.
    kayak nyuruh orang cepet nikah, trus habis nikah ditanya terus kapan punya momongan, aku rasa gitu gitu aja alurnya, heran

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Mba Ainun, dijelasin banget gimana sistem kerja minimarket. Kayak barang-barang yang lagi laris disimpennya di mana, cara promosiin produk ini-itu juga. Detail banget 😊 Bener, jadi kita paham yaa kerjaan selain kerjaan kita itu kayak gimana 😊

      Kalau udah punya momongan ditanya kapan nambah momongan wkwkwk. Akan selalu ada orang yang ngerecokin yaa dan mereka nganggap itu normal, kalau kita nyangkal dianggapnya ga sopan atau ga normal, sad but true 😆

      Delete
  12. Baca buku ini dimana Mba Eya?? Apa beli buku fisik di GM?? kok sepertinya menarik. hehe udah lama ini mata istirahat nggk baca-baca. eheh.

    Kembali lagi ke isu-isu tentang level kenormalan. Jujur saya juga bingung yang disebut normal oleh masyarakat luas tuh yang bagaimana?? Saya sering banget di komplain. dibilang kalau "Umurnya sudah bukan untuk yang begini2" lahhh why?? saya suka kok lalu apa masalah dengan anda... seperti itu.. wkwkwk

    yah meskipun di depan saya selalu mencoba stay on my feet. tapi kadang suka kebawa overthiking aja kaya Mba Hicha.. hahah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku baca lewat Gramedia Digital Mas Bayu, pakai sistem subscribe gituu. Tapi buku fisiknya ada kok, di Gramedia manapun kayaknya masih ada 😆

      Ih beneeerr I feel the same Mas Bayuu hahaha... apalagi kita ini kayaknya yang masih demen nonton anime, pasti aja jadi bahan nyinyiran udah bukan umurnya wkwkwk. Padahal mah kita kan senang yaa, dan ga ngerecokin mereka tapi kenapa kitanya direcokin 😂

      Apalagi kalau baca Gadis Minimarket ini, makin nambah bahan overthinking deh pasti wkwkwk

      Delete
  13. Udah dua kali baca blog yang bahas buku ini. Jadi penasaran pengen baca. Tapi beberapa bulan ini lagi nggak kuat baca novel dan lebih banyak baca cerpen wkwkwk.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku saranin baca ajaa soalnya novel ini jumlah halamannya juga ga banyak kok, lebih mirip novela jadinya 😊

      Delete
  14. Haii mbak Eya..
    Di bagian bagian awal aku merasa terjekut dengan tokoh Keiko. Waah serem banget yaaak ni bocah, di saat teman-temannya dan bahkan ibunya berfikir sama secara kebanyakan, dia malah anti mainstream dgn mau makan itu burung yaak 😅

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haii Mas Dodo 😆
      Hahaha memang agak ngagetin pas bagian itu, karena kayaknya anak kecil kok bisa mikir gituuu... tapi kalau dirunut sebenernya cukup masuk akal sih, menurut dia biasa di rumah juga makan burung kenapa nemu burung mati malah harus bersedih wkwkwk

      Delete
  15. mantap kak reviewnya!!! aku jadi pengen ikutan baca hahaha... Terus soal judulnya, awalnya aku bingung. konbini ningen itu artinya memang manusia convenience store. Eh tapi kenapa jadi gadis minimarket. Makanya aku bingung di awal pas liat gambar kak Eya. Tapi seperti kata kak Eya, mungkin karena tokoh utama cewe jadinya diberi judul gadis minimarket.

    ReplyDelete
  16. Menarik juga nich. Dari Gramedia ya? Langsung deh masukin planning untuk bulan depan. Semoga bisa segera menikmati.

    ReplyDelete