Japanese Film Festival (JFF) Plus: Online Festival 2020, My Personal Favorites

Wednesday, December 23, 2020


Sampai tulisan ini mau tayang pun, aku masih bertanya-tanya, what's the point of publishing it? Soalnya film-filmnya sendiri udah pada enggak bisa diakses di web-nya JFF hahaha! Tapi dengan pertimbangan lain, yaitu menyimpan memori, akhirnya yaa tulisan ini aku publish aja deh :')

So, seperti yang aku sebut di diary November, sesuatu yang paling aku tunggu-tunggu banget di bulan Desember adalah adanya Japanese Film Festival yang tahun ini namanya jadi JFF Plus: Online Festival. Karena festival film yang biasanya berkeliling bioskop demi bioskop di beberapa kota, kali ini diadakan secara online dan gratis.

Aku selalu nunggu-nunggu kedatangan JFF tiap tahunnya karena aku suka banget film-film Jepang, dan film-film Jepang sendiri cukup jarang ditayangkan di bioskop Indonesia, jadi saat ada JFF itu kesempatan banget bisa nonton film-film Jepang pilihan di layar lebar. Apalagi biasanya memang film-film yang dipilih di JFF ini bagus-bagus.

Dan enggak terkecuali film-film yang tayang di JFF Plus: Online Festival 2020 ini. Aku bisa bilang semua film yang tayang di sini bagus walaupun pada akhirnya aku enggak sempat nonton semuanya. Tapi dari film-film yang sempat aku tonton, semuanya bagus. Kalaupun bukan yang spesial, tapi tetap ceritanya pun bagus dan berkesan.

Tapi supaya enggak panjang-panjang amat tulisan ini, aku bakal bahas film-film yang paling meninggalkan kesan pas nonton. Langsung aja deh, biar enggak kepanjangan. Ini urutannya sesuai jadwal tayangnya.

Project Dreams: How To Build Mazinger Z's Hangar

Film pertama yang aku tonton di JFF dan ternyata luar biasa kece banget!! Sungguh jauh di atas ekspektasiku. Menurutku ini adalah film terbaik di JFF bahkan salah satu film terbaik yang aku tonton sepanjang tahun 2020.

Ketika kepala divisi Humas Maeda Corporation, Asagawa menyuarakan ide soal membangun hanggar Mazinger Z, keempat anak buahnya enggak bisa berbuat apa-apa selain terlibat secara 'sukarela'. Walaupun hanggarnya enggak akan benar-benar dibangun, tapi mereka benar-benar melakukan riset ini-itu, dari mulai menonton kembali episode-episode Mazinger Z, sampai bekerja sama dengan orang-orang ahli dari divisi lainnya.

Kocak sih, lihat anggota divisi humas lainnya yang awalnya melakukan pekerjaan karena terpaksa, tapi enggak enak ngomongnya ke atasan, masing-masing pada dapet 'hidayah' yang berbeda-beda sehingga akhirnya bener-bener serius mengerjakan proyek fantasi ini.

Buat yang enggak tahu, Mazinger Z adalah serial super robot pertama yang dibuat oleh Nagai Go, dan kepopulerannya di Jepang yang menginspirasi banyak mangaka dan animator lainnya untuk membuat karya sejenis yang kemudian familiar disebut mecha.

ini bentuknya Mazinger Z, robot raksasa penumpas para monster

Nah, kalau udah lihat bentuk Mazinger Z, rasanya apa yang dikerjakan dalam film ini tuh mustahil dan fantasi banget yaa? Dan nama divisi dalam proyek pembuatan hanggar Mazinger Z ini namanya pun Fantasy Marketing Department, dan seolah-olah mereka menerima pesanan dari klien di dunia Isekai (fantasi) wkwkwk.

Tapi riset untuk membuat hanggar Mazinger Z ini benar-benar kerasa real banget! Mereka beneran riset sedalam apa tanah yang harus digali, di mana seharusnya hanggar dibuat, bahan-bahan bangunannya yang dipakai, sampai biaya keseluruhannya benar-benar dikerjakan dengan detail. Walaupun biaya yang diperlukan super mahal, tapi dengan perkiraan ini-itu yang mereka buat, hanggar untuk Mazinger Z mungkin saja bisa terealisasikan.

Di film ini pun banyak membahas hal-hal teknis dari pekerjaan konstruksi, istilah-istilah, bahkan sampai rumus/teknik fisika dan konsep pembuatan bendungan yang bisa mereka aplikasikan dalam pembuatan hanggar. Kesannya berat, tapi untunglah Hanabusa Tsutomu bikin film ini dengan pembawaan komedi jadinya hal-hal teknis tadi tuh tersampaikan dengan baik dan kocak di otak orang-orang awam kayak kita. Dari awal film mulai aja udah dibikin ketawa terus.

Menyenangkan banget nontonnya deh! Orang Jepang dengan passion mereka dalam pekerjaan, dan ke-nerdy-an mereka akan anime dan manga benar-benar hal yang menyenangkan banget buat ditonton!

Gon, The Little Fox

Awalnya aku rada ragu mau nonton film animasi stop motion pendek ini, karena udah ada feeling kalau ceritanya bakal sedih. Tapi karena sebelumnya aku enggak familiar dengan animasi stop motion dari Jepang, aku penasaran dan akhirnya memutuskan untuk nonton!

Dan berakhir cirambaaaayyyy T_____T

Gon, The Little Fox diangkat dari cerita rakyat anak-anak di Jepang. Bercerita tentang seekor rubah kecil yang merasa bersalah pada seorang manusia, Hyoju karena mengambil belut yang dia pancing dan menyebabkan ibunya yang sedang sakit tidak bisa makan belut yang bisa jadi obat untuk penyakitnya. Saat tidak sengaja melihat Hyoju dan iring-iringan membawa ibunya ke pemakaman, Gon pun langsung merasa bersalah.

Sejak saat itu, Gon selalu mengambil kacang-kacangan dari hutan untuk diberikan kepada Hyoju secara diam-diam, disimpan di dapurnya. Hyoju tentu saja heran, dari mana kacang-kacangan itu datang setiap harinya. Sebagai gantinya, dia menaruh bunga Red Spider Lily untuk siapapun yang memberikannya kacang-kacangan.

suka banget akutuu ngeliatin yang begini ><

Sumpah yaa, ini pengalaman yang sangat berkesan bisa nonton animasi stop motion dari Jepang! Suka banget lihatnya, semua boneka dibuat dengan sangat detail. Bentuknya agak mengingatkan sama Papermoon Puppet.

Walaupun aku sebenernya kurang suka dengan wujud Gon yang mukanya terlihat lebih kayak manusia dibanding rubah hahaha. Tapi aku suka dengan pembawaan Gon yang ceria, kalau jalan sambil lompat-lompat lucu gituuu. Dan kalau lagi murung pun dia kelihatan sangat gloomy huhuhu.

Makanya nih, endingnya beneran bikin berlinang air mata :(( Btw sebelumnya aku baca review Gon, The Little Fox di blognya Frisca dan nangis lagi hahaha karena yang dia review lengkap banget >.<

The Great Passage

Satu lagi film tentang dunia kerja di Jepang! Kali ini temanya bikin aku takjub karena menceritakan divisi di penerbitan yang membuat... kamus. Iyaa, kepikiran aja nyeritain tim yang bikin kamus!

Majime adalah seorang kutu buku yang sangat sulit berkomunikasi dengan orang lain. Dia bekerja di divisi sales penerbitan. Kebayang enggak sih, orang yang sulit komunikasi kerja jadi sales? Wkwkwk. Makanya, ketika editor senior dari divisi kamus hendak resign dan disuruh mencari pengganti, Majime pun direkrut ke dalam divisi kamus dan langsung terlibat dalam project pembuatan kamus baru yang berjudul The Great Passage.

Pembuatan kamus ternyata enggak semudah membuat buku lainnya lho! Rentang waktu pengumpulan kata-kata baru aja bisa sampai bertahun-tahun, dan keseluruhan pembuatan kamus bisa memakan waktu 10-12 tahun. Belum lagi tim inti dari divisinya sendiri cuma sedikit, saat pemeriksaan mereka harus meng-hire pekerja part time lagi.

Selama rentang waktu pembuatan kamus, banyak hal yang terjadi dalam hidup Majime. Seperti seniornya yang akhirnya resign, dia yang berkenalan dan jatuh cinta dengan cucu pemilik rumah kontrakannya, Kaguya, dan teman baiknya yang kemudian dipindah ke divisi penjualan demi keberlangsungan pembuatan The Great Passage.


Awalnya film ini memang terkesan lambat. Kalau yang enggak kuat nonton film slow burn pasti banyak yang menyerah di sepuluh menit awal. Tapi justru semakin ke tengah dan mendekati akhir, film ini semakin seru dan asik buat ditonton.

Mungkin hampir sama kayak pas nonton Project Dreams: How To Build Mazinger Z's Hangar, nonton orang-orang yang passionate sama pekerjaannya ini tuh menyenangkan! Apalagi sebelumnya aku sama sekali enggak tahu gimana proses pembuatan kamus. Di sini dijabarin dengan jelas, gimana proses pengumpulan dan pengelompokan kata, gimana mereka riset lapangan mencari kata-kata baru yang sedang populer di kalangan masyarakat.

Film The Great Passage ini udah cukup lama, dari 2013 dan sedih aja sebelumnya belum pernah dengar soal film ini padahal sebagus ini filmnya. Struggle-struggle yang dihadapi Majime dan timnya, hubungannya dengan Kaguya, tekanan dari bos penerbitan, sampai kepala pimpinannya yang sakit menjelang selesainya kamus, semuanya bikin semangat dan terharu nontonnya.

Our 30 Minute Sessions

Film yang awalnya aku tonton hanya karena keberadaan Arata Mackenyu dan sama sekali enggak nyangka ceritanya bagus banget dan sampai sukses bikin mewek :(

Ketika Sota menemukan sebuah walkman, tapi begitu dia menekan tombol play, arwah Aki, permilik walkman sebelumnya malah merasuki tubuhnya. Pertukaran tubuh mereka hanya bisa terjadi selama 30 menit, dan Aki pun bernegosiasi dengan Sota supaya mau meminjamkan tubuhnya supaya dia bisa menyatukan kembali bandnya yang sudah bubar.

Semasa hidupnya, Aki adalah seorang musisi yang membentuk band dengan teman-teman sekolah dan pacarnya, Kana. Aki meninggal karena kecelakaan di tengah perjalanannya untuk rehearsal sebelum mereka tampil di festival musik. Kepergian Aki membuat bandnya bubar.

Tentu saja awalnya enggak mudah untuk Sota (yang dirasuki arwah Aki) untuk bisa menyatukan kembali band Aki. Tapi seiring berjalanannya waktu Sota bisa dengan mudah diterima oleh teman-teman Aki, bahkan bisa dekat dengan Kana.

Sekilas perjalanan mereka terlihat baik-baik saja. Sampai Sota dan Aki menyadari kalau waktu pertukaran tubuh mereka semakin lama semakin singkat.

mon maap boleh gantiin posisi Takumi ga, dilihatin sedekat itu sama Macken?

Yang jadi highlight di Our 30 Minute Sessions ini tentu saja persahabatan Sota dan Aki. Sota yang pendiam dan anti sosial ketemu Aki yang luar biasa supel dan banyak omong. Awalnya tentu saja Sota menolak keberadaan Aki, tapi karena Aki terus-terusan mengganggunya, bahkan bersedia membantu Sota dalam wawancara pekerjaan, perlahan-lahan Sota mulai menerima kehadiran Aki.

Interaksinya Aki dan Sota tuh lucu banget, gimana Aki yang bawel terus-terusan ngomong sementara Sota cuma memutar bola mata wkwkwk lagian kalau dia nanggapin nanti dia dikira ngomong sendiri doong.

Dan tentu saja aku kembali cirambay nonton iniiii aaaaa!!!

Paling lemah kalau nonton film yang nyeritain persahabatan cowok-cowok, apalagi kalau chemistry pemerannya memang bagus huhuhu. Tapi walaupun film ini sedih, entah kenapa endingnya malah bikin aku tersenyum lega.

Oh ya, berhubung ini film tentang anak band, lagu-lagu yang hadir di sini pun enak-enak didengerin. Jadi inget film Jepang favoritku juga, The Liar and His Lover yang menceritakan anak band dan lagunya enak-enak huhuhu.

Little Nights Little Love

Awalnya aku sangat ragu mau nonton ini. Karena kayaknya belum siap aja lihat film yang dibintangin Miura Haruma setelah orangnya enggak ada :(( Tapi aku akhirnya meyakinkan diri untuk nonton karena kapan lagiii bisa nonton kalau bukan di JFF? Walaupun baru mulai, lihat Haruma, langsung ngucur ini air mata, tapi dikuat-kuatin karena sebenernya cerita filmnya bagus :((

Ada beberapa kisah dalam Little Nights Little Love, menceritakan kisah cinta, hubungan keluarga, dan seseorang yang terinspirasi dari orang lain yang dia temui. Karakter-karakternya saling berhubungan satu sama lain dan saling berpengaruh dalam cerita satu dan cerita lainnya.

Cerita tentang seorang hairdresser bernama Minako yang saking sibuknya kerja sampai tidak memikirkan berkenalan dengan cowok. Sampai akhirnya seorang pelanggan mengenalkannya pada adik laki-lakinya. Berbulan-bulan lamanya Minako dan Manabu saling bicara lewat telepon tanpa pernah bertemu, tapi mereka merasa sangat klop dan nyaman dengan satu sama lainnya.

Cerita lainnya tentang Sato yang selalu berharap akan bertemu jodohnya secara tidak sengaja, seperti rekan kerjanya yang bertemu istrinya karena menemukan dompetnya yang jatuh. Dan saat sedang melakukan survey di jalanan, Sato malah teralihkan pada pengamen jalanan yang menyanyi dengan sangat indahnya (lagunya bagus banget btw!) dan di situlah dia bertemu dengan Saki yang di kemudian hari akan menjadi pasangannya.

Ada juga cerita tentang anak remaja tuli yang setiap hari dibully oleh teman-temannya. Dia harus selalu berlindung di balik punggung kakak perempuannya agar tidak kena bully. Suatu hari dia ditolong oleh Sato yang secara kebetulan akan bertemu dengan Manabu yang seorang petinju. Manabu memberikan semangat pada si anak remaja, sampai akhirnya dia bisa sedikit lebih berani.


Aku cukup suka tipe film yang seperti ini, kayak semacam Love Actually gitu. Beberapa karakternya saling berhubungan dan mempengaruhi cerita satu sama lainnya.

Yang paling aku suka justru hubungan Sato dan kedua sahabatnya, pasangan Kazuma dan Yumi yang dulunya putus kuliah karena menikah. Saat filmnya memasuki time skip, ketika putri Kazuma dan Yumi  yang bernama Mio menginjak usia remaja, dan sebal sama kelakuan ayahnya yang sangat kekanakkan.

Dia sampai bertanya-tanya kenapa ibunya mau menikah dengan ayahnya dulu, dan Sato lah yang menjelaskan hubungan orangtuanya seperti apa. Bagaimana ayahnya berusaha untuk bertanggungjawab ketika tahu Yumi hamil, meninggalkan kuliah dan hal lainnya demi keluarganya bisa hidup dengan baik. Dari situ Mio mulai melunak pada ayahnya, walaupun enggak secara langsung berubah sikap.

Film ini sebenarnya sama sekali enggak sedih, palingan terharu aja di beberapa bagian. Tapi sepanjang nonton, air mataku enggak berhenti ngucur setiap kali Haruma muncul :(( Masih susah banget rasanya nonton dia di layar kaca dan tahu orangnya udah enggak ada :(( Apalagi di sini Haruma dipasangkan dengan Tabe Mikako, lawan mainnya di Kimi ni Todoke, film yang bikin aku jatuh cinta sama dia aaahhh hatikuuuu :(((

**

Sayang banget film yang tayang di hari terakhir, Cafe Funiculi Funicula enggak sempat aku tonton karena hari terakhir JFF itu aku sibuk! Huhuhu padahal menurut review orang-orang, filmnya bagus juga. Mungkin lain kali ada kesempatan nonton deh yaa...

Total film yang aku tonton dari JFF Plus: Online Festival ada 13 film. Cukup banyak juga film yang kelewat apalagi dokumenter-dokumenternya sama sekali enggak ada yang ketonton haduuuh. Dan platform untuk nontonnya cukup terbatas juga yaa, aku enggak bisa nonton lewat hape karena Chrome tidak support hahaha. Bisa nontonnya cuma di laptop pakai Safari, itupun dengan beberapa error kadang-kadang. Semoga festival online berikutnya bisa lebih bersahabat lagi deh yaa buat semua platform. Biar banyak yang nonton dan kenal film-film Jepang yang bagus-bagus.

Sisa film yang aku tonton tapi enggak aku bahas di sini, aku tulis review singkatnya jadi thread sendiri di Twitter kok. Monggo kalau mau baca-baca hehehe...


Aku berharap banget ke depannya nanti bisa dengan mudah lagi mengakses film-film Jepang. Kayak lebih sering masuk bioskop sini kek, lebih banyak muncul di streaming service kek. Apalagi katanya tahun 2021 pemerintah Jepang tuh mau memberantas habis pembajakan. Mungkin akan semakin sulit mendapatkan tontonan Jepang secara ilegal, jadi berharap banget bisa dipermudah dapet aksesnya secara legal doong...

Semoga juga, JFF tahun depan udah bisa kembali nonton di bioskop tanpa diikuti perasaan parno. Kan enak kalau bisa lihat muka Mackenyu di layar besar hehehehehe.

Begitulah perjalanan dengan JFF tahun ini yang enggak perlu lari-larian ngejar jadwal nonton di bioskop. Bisa nonton sambil tiduran dan di-pause dulu kalau mau ke WC itu sungguhlah nikmat hahaha.

eya.

10 comments

  1. hasikkk... mau nonton juga ah!
    penasaran sama Gon the little fox nih sama 30minutes session,

    Terima kasih Eya!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Siapin tisu kalau mau nonton Dyyy wkwkwk dua2nya bikin nangis jelek 😂😂

      Sama-samaaa Adyy!

      Delete
  2. omg Mazinger!!! so nostalgic, it was one of my childhood favorite along with voltus V! hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waaaa you watch Mazinger?? I only know Mazinger from Animonster back then 😅 But it's an important anime especially for those who like mecha

      Delete
  3. Referensinya bagus-bagus kaj Eya. Berhubung tahun depan, rencananya, saya mau explore dorama, jadi mesti cari referen dan pemanasan sama dulu dengan film-film Jepang.

    Dari semua rekomendasi tontonan, saya senang dengan beberapa. Gon, The Little Fox adalah salah satu yang cukup menarik untuk saya. Soalnya, terakhir kali nonton animasi stop motion, cukup gloomy dan sedih. Mungkin kak Eya pernah nonton juga, Anomalisa, salah satu animasi stopmotion yang saya suka. Makanya, baca tulisan kak Eya soal ini bikin saya ingat film itu.

    Saya juga tertarik dengan The Great Passage. Kayaknya tahun depan akan nonton dua film itu dulu, kalo nemu aksesnya. Secara premis, Our 30 minute session juga menarik. Ah, jadi punya banyak referensi. Tengkyu kak Eya 😆

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Rahul, thanks to tim JFF yang udah bawain film-film menarik ginii hehehe.

      Oooh Anomalisa aku tahuuu dulu sempat banyak yang ngomongin jugaa kan?? Kurang lebih setipe lah, Gon, The Little Fox juga bikin gloomy. Kalau selain Gon, film stop motion lain ada Norman The Snow Man sama Moon of The Sleepless Night, itu lebih less gloomy sih 😅

      Kalau kayak Rahul yang punya banyak teman baik, kayaknya Our 30 Minute Sessions bakal bikin terharu siih, tema persahabatannya cukup kuat 😁 Kalau The Great Passage itu memang temanya enggak biasa sih.

      Kalau mau explore film Jepang, mungkin bisa cobain film-filmnya Kore-eda Hirokazu juga Rahul, kayak Our Little Sister, Shoplifters, atau Nobody Knows. Selamat mengeksplor film Jepang dan dorama tahun depan yaa Rahul 😆

      Delete
    2. Saya catat dulu kak Eya. Saya sudah cek klip dan trailernya. Menarik 😊

      Saya pernah sekali nonton Kore-eda lewat Like Father Like Son. Keren. Saya suka. Mungkin karena ini film Asia, jadi kulturnya mirip-mirip. Sepanjang film saya kayak,"iya juga yah"

      Delete
    3. Oh iyaa Like Father Like Son itu bagus jugaaa kok sampe lupa hahaha.. Bener, beberapa hal dari film Asia pasti bisa lebih relate ke kita yaa

      Delete
  4. Yang masuk list saya pasti yang bangun markas Mazinger Z mbak Eya. Lihat trailernya saja sudah koplak banget..yang lain moga-moga menyusul.

    Thanks for sharing ya. Kayaknya bakal banyak nyambung nih dg blog keren ini

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ih sangat kocak Mba Phebie, wajib tonton deh ituuu 😂😂

      Waaah sama-sama Mba Phebie, seneng deh kalo bisa ngasih rekomendasi hehehhe

      Delete