What I Read: What If by Morra Quatro

Sunday, October 25, 2015

What If by Morra Quatro
Pengarang: Morra Quatro
Penerbit: Gagas Media
Tahun Terbit: 2015
Rating: 4/5

Bercerita tentang Kamila Rasyid, Si Anal, asisten dosen ilmu sosial yang sangat detail, dan Jupiter Europa, si perayu ulung yang suka bolos kuliah. Keduanya bertemu di suatu siang di lapangan basket kampus setelah Kamila melarikan diri dari forum diskusi karena pendapatnya tidak digubris. Sedikit percakapan, Piter langsung tertarik pada Kamila. Sayangnya, ajakan minum es teh manis Piter siang itu harus menerima penolakan halus dari Kamila. Keduanya kembali bertemu di kelas ilmu sosial dimana Piter akhirnya mengetahui bahwa Kamila adalah asisten dosen. Berkat keberadaan Kamila, Piter jadi rajin kuliah. Bahkan rela begadang demi mengerjakan esai karena Kamila bilang akan memberikan nomer teleponnya kalau esai Piter mendapatkan nilai A.
“Oke,” kata Kamila. “Kalau saya kasih nomornya, memangnya kamu mau nelepon buat apa?”
“Ya ngobrol dong, masa pesan ayam goreng.”
Hubungan keduanya berjalan semakin dekat. Namun Kamila selalu merasa kalau kelanjutan hubungannya dengan Piter tidak akan mudah. Karena sebuah jurang yang berwujud perbedaan agama menganga lebar diantara mereka. Walaupun Piter sempat berpikir ada sesuatu yang indah pada kenyataan bahwa mereka berbeda.
“Berdoalah dulu kepada Tuhan-mu. Aku akan menunggu di sini. Aku tak tahu, apa aku diizinkan masuk. Jadi, aku akan menunggu. Di sini.” –Piter, hal. 86
Rasanya bahagia banget waktu nerima paket berisi novel What If kiriman langsung dari Kak Morra hihihi. Bahagia karena bisa PO langsung dari Kak Morra dan nerima bukunya sebelum beredar di toko-toko buku. Bahagia karena dapet note tulisan tangan Kak Morra yang related banget sama aku dan tentu aja bikin sedikit jlebb pas baca. Dan bahagia karena Kak Morra akhirnya melahirkan novel baru yeay!

Note and signature from Kak Morra. Mind my ugly hand :p
Awalnya sama sekali nggak kepikiran kalau What If ini bertema perbedaan agama. Waktu baca prolog dan bab 1 di blog Kak Morra juga sama sekali belum ketebak tema besarnya tentang apa. And guess what, ini pertama kalinya aku baca novel tentang perbedaan agama dan (lagi-lagi) nggak nyangka kalau aku bakal suka. Cara pengeksekusian Kak Morra memang selalu bikin jatuh hati. Penggambaran yang detail dan dialog-dialognya yang cerdas. Sejak pertama kali baca Notasi, aku udah menetapkan bakal beli semua novel ciptaan Kak Morra. Nuansa di What If ini cukup mirip sama Notasi, dengan isu-isu politik dan sosialnya di kampus. Sangat khas Kak Morra :)

Satu lagi yang selalu bikin jatuh cinta sama karya Kak Morra: karakter. Entah kenapa karakter-karakter ciptaan Kak Morra selalu membekas di hati. Kamila Si Anal, yang sangat detail, dan cerdas. Plus, dia bisa menjahit, memasak dan memotong rambut. Menurut aku, cewek kayak Kamila inilah yang paling layak untuk digilai laki-laki. Setuju banget sama Piter yang nggak meyerah mengejar Kamila ahahah. Lalu Jupiter atau Piter yang menyenangkan, perayu, tukang bolos yang sebenarnya cerdas juga. Anak yang suka bolos ini sampai baca banyak buku dan artikel untuk mengerjakan esai! Dan bagian esai Piter ini juga sempat bikin tercengang. Nggak nyangka aja Piter yang kesannya bandel dan suka main-main bisa membuat esai sebagus itu. Karena apa? Ya, karena Kamila :D

Selain mereka, ada juga Finnigan, sahabat Piter yang pertama kali melihat Kamila dari jendela kelasnya saat pekan raya BEM digelar di kampus mereka. Hubungan Finn dengan pacarnya, Anjani, kurang-lebih sama seperti hubungan Kamila dan Piter. Mereka hanya sudah menjalaninya lebih lama dari Kamila dan Piter. Nah, Finn yang santun inilah yang berhasil bikin gemeess. Aku selalu suka dengan cerita yang menyelipkan persahabatan para cowok. Walaupun nggak banyak dibahas, tapi terasa gimana eratnya hubungan Piter, Finn dan Steven, sahabat mereka yang satu lagi. Aku juga suka gimana Finn merasa sangat related dengan hubungan Piter dan Kamila.
Finn membungkuk ke telinga Kamila. “Ternyata, Susan gedenya beneran jadi dokter.”
Kamila tidak tertawa.
“Bukan jadi presiden.”
Tidak tertawa juga.
“Soalnya, yang mau jadi presiden si Ali Akbar.”
Pembaca novel-novel Kak Morra pasti hafal seperti apa biasanya ceritanya diakhiri. Masih inget waktu aku kesel sampai mau nangis pas selesai baca Notasi dan Forgiven. Tapi untuk ending What If, aku cukup puas. Walaupun kalau boleh aku ngarep ending yang beda hiks. Terima kasih Kak Morra untuk cerita yang sangat indah ini. Novel-novel berikutnya akan selalu dinanti :)

Buat yang suka novel romance yang menyayat hati, terutama penggemar karya-karya Kak Morra Quatro, What If ini recommended banget :)

Love,
Eya

Post a Comment