Pengarang: Cassandra Clare
Penerjemah: Meda Satrio
Penerbit: Fantasious
Tahun Terbit: 2015
Rating: 5/5
Penerjemah: Meda Satrio
Penerbit: Fantasious
Tahun Terbit: 2015
Rating: 5/5
Ah, akhirnya beres juga aku baca series The Mortal Instruments-nya Cassandra Clare. Perasaan setelah baca? Campur aduk. Sedih karena cerita Clary dkk ini berakhir. Seneng karena menurutku Cassie sukses banget bikin ending yang MEMUASKAN. Perasaanku sepanjang baca (yang banyak kepotong sama kegiatan ngantor) juga campur aduk. Kadang senyum-senyum, kadang mengernyit, kadang kesel, bahkan nangis di akhir-akhiran. Dan setelah ini rencananya aku bakal langsung memburu seri The Infernal Devices pastinya.
Kali ini Clary, Jace, Alec, Isabelle dan Simon kembali melanggar Kunci. Mereka lari ke Edom untuk mengejar Sebastian alias Jonathan Christopher Morgenstern sekaligus membebaskan para tawanan; Magnus, Luke, Jocelyn dan Raphael. Ini salah satunya yang mengharuskan aku tepuk tangan buat Cassie. Tempat yang dia pilih, Edom yang katanya nama lain dari neraka, dimensinya para iblis. Aku cukup kesulitan bayanginnya walaupun dijelasin dengan cukup detail seperti apa Edom itu. Nggak seperti di buku ketiga, City of Glass dimana perang terjadi di Idris yang diceritakan sebagai negeri Pemburu Bayangan. Maksudnya, masih lebih gampang lah yaa membayangkan negeri yang indah kemudian rusak karena perang, daripada dunia yang sejak awalnya udah hancur duluan bahkan sebelum ada perang. Berkali-kali juga aku mengernyit jijik membayangkan iblis-iblis yang menyerang Clary dkk.
Selama baca buku 1 sampai 5, aku terus-terusan dibikin kesel sama si karakter utama cewek: Clarissa Fray atau Clary. Abisnya dia egois dan keras kepala banget sih. Tapi di buku keenam ini, Clary nggak lagi bikin kesel. Justru aku beberapa kali berdecak kagum sama pilihan-pilihannya, terutama kerjasamanya dengan Jace tentang api surgawi. TAPI karakter yang paling sering bikin nahan nafas di buku keenam ini adalah Alec. Dari awal aku emang paling tertarik sama karakter Alec yang cukup pendiam dan lebih suka bersembunyi di balik bayang-bayang Jace, parabatai-nya. Dan di CoHF ini aku merasa karakter Alec bener-bener berkembang dan porsinya banyak yeaay. Di buku pertama Jace bilang kalau Alec terlalu sibuk melindungi dia dan Izzy sampai nggak pernah membunuh satu iblis pun. Dan aku bener-bener dibikin terkagum-kagum di buku keenam waktu Alec membunuh seorang Kesatria Peri dengan dingin. Emosi-emosi Alec juga kerasa banget selama perjalanan mereka di Edom (terlebih karena Magnus jadi tawanannya Sebastian) dan kesel banget sama Jace kenapa baru nyadar agak lama. Alec kan parabatai-nya, sementara kalau Jace kenapa-kenapa, Alec peka banget.
Ada beberapa karakter baru muncul di buku terakhir ini; anak-anak keluarga Blackthorn dan Emma Carstairs yang berhasil kabur dari serangan Sebastian dan Pemburu Bayangan Gelapnya dari Institur Los Angeles di bagian prolog. Karakter mereka cukup penting dan sepertinya Cassie sengaja menyelipkan kisah mereka buat pembuka ke serial barunya yang bakal terbit tahun depan The Dark Artifices. Aku sih, cukup tertarik sama Emma Carstairs dan Julian Blackthorn, sepasang sahabat umur dua belas tahun yang selalu saling mendukung dan mengerti satu sama lain. Suka gimana mereka berkomunikasi dengan menuliskan kalimat di tangan satu sama lain menggunakan jari.
Beberapa kematian juga bikin aku sedih disini. Termasuk kematian si musuh utama. Oke, aku benci banget sama si Sebastian ini dari awal kemunculannya (terutama karena dia membunuh Max Lightwood). Tapi aku sama sekali nggak nyangka kalau dia HARUS MATI dengan cara seperti itu. Dan nggak nyangka juga aku bisa menyesali kematian si jahat ini. Cassie bener-bener sukses mencampur-adukkan perasaan pembaca.
Oiya kemunculan Zachariah (salah satu Saudara Hening) bikin penasaran banget sama seri The Infernal Devices. Apalagi di epilognya. Baca di beberapa review, ada yang bilang kalau sebaiknya baca The Inernal Devices dulu sebelum CoHF. Sempat bingung juga sih, tapi akhirnya aku pilih beresin dulu Mortal Instruments baru lanjut ke Infernal Devices.
“Pahlawan bukan selalu pihak yang menang. Mereka pihak yang kalah, kadang-kadang. Tapi mereka terus berjuang, mereka terus kembali. Mereka tidak menyerah. Itulah yang menjadikan mereka pahlawan.” –Clary Fray, hal.65
“Senjata, bila rusak dan diperbaiki, bisa lebih kuat di tempat yang diperbaiki itu. Mungkin hati juga sama.” –Jace Herondale, hal.194
“Kadang kita ceroboh dengan hati kita seperti kita ceroboh dengan nyawa kita. Saat kita menyerahkan hati kita, kita menyerahkan setiap kepingnya. Dan jika kita tidak mendapatkan apa yang benar-benar kita butuhkan, bagaimana kita akan hidup?” –Jia Penhallow, hal.267
“Sebenarnya bagus mempunyai orang-orang yang mencemaskanmu. Itu berarti mereka peduli. Dari situlah kau tahu mereka teman yang baik.” –Alec Lightwood, hal.280
Seneng rasanya buku ini diakhiri dengan begitu baik. Tulisan Cassie selalu berhasil bikin jatuh cinta lagi dan lagi. Mungkin, aku nggak akan semudah itu bosan sama dunia para Pemburu Bayangan ciptaannya :)
Love,
Eya
Post a Comment